Warga bisa langsung memeriksa diri ke puskesmas dan akan dilakukan tes molekuler cepat yang mana dalam dua jam hasilnya sudah terlihat apakah positif atau negatif TB dan apakah resisten obat atau tidak.
"Ketika sudah positif harus diobati sampai sembuh dengan rutin meminum obat minimal enam bulan, tidak boleh putus obat karena kalau putus obat sebelum pengobatan selesai bisa resisten (kebal) obat," jelasnya.
"Jadi dibutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut memantau pengobatan agar tidak menularkan ke yang lain, karena satu penderita TB bisa menularkan 10 sampai 15 orang," imbuh Retno.
Terpisah, Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor, Sri Kusnaeni mendorong Pemerintah Kota Bogor untuk mempercepat eliminasi TBC yang sesuai dengan visi misi Kota Bogor sehat menuju Bogor Kota Ramah Keluarga.
Dia berharap dengan adanya Aksi Geulis yang diinisiasi Dinkes Kota Bogor bisa menjadi langkah awal Pemkot Bogor dalam menekan angka kasus TBC di Kota Bogor.
“Kami dari DPRD Kota Bogor mendukung penuh Aksi Geulis ini. Karena sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) melalui Perwali Nomor 18 Tahun 2023," ujar Sri dalam keterangannya.
Sri juga berharap Aksi Geulis dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya. "Semoga ini bukan hanya sekedar tertulis di dalam kertas tapi kami berharap ini direalisasikan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Sri yang hadir dalam acara tersebut mewakili ketua DPRD Kota Bogor mengaku dirinya banyak menemui kasus penderita TBC yang jenuh atas proses penyembuhannya.
Hal itu berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengobatan pasien TBC di Kota Bogor yang pada tahun 2022 hanya menyentuh 70 persen.
Dengan upaya preventif yang dilakukan melalui Aksi Geulis, kata dia, diharapkan bisa sejalan dengan upaya pengobatan, agar menurunkan angka penularan dan kematian lantaran TBC.
“Kalau saya melihat munculnya TBC ini ketika saya turun ke lapangan sering menemukan kasus kejenuhan pasien untuk minum obat. Nah ini perlu diberikan pendampingan untuk menjaga mental pasien untuk bersabar dalam proses pengobatan," paparnya.
Menurut Sri, upaya pengobatan TBC ini harus sejalan dengan upaya preventif. Ia juga mengatakan persoalan kesehatan, ekonomi, dan pendidikan dapat dikatakan sebagai lingkaran buruk yang harus diputus mata rantainya.
Sebab, sambungnya, jika masyarakat mengalami persoalan pada kesehatan, maka akan berdampak pada terhambatnya pemenuhan perekonomiannya.
Lalu, apabila persoalan perekonomian terganggu, maka akan berdampak kepada menurunnya partisipasi pada dunia pendidikan.
"Akhirnya dengan minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, akan berdampak kepada rendahnya pengetahuan akan menjaga pola hidup bersih dan sehat," tandasnya.
Artikel Terkait
Mantan Anggota NII KW 9 Beberkan Terkait Mahar 5 Juta Untuk Ponpes Al Zaytun
Dinas Kesehatan Kota Cimahi Ungkap Ada 123 Kasus DBD di Kota Cimahi
Kolaborasi Strategis BI dengan Pemprov Jabar untuk Tingkatkan Daya Saing UMKM Jabar
Arema FC Tak Gentar Hadapi Persib Malam Nanti
Perhutani KPH Bandung Utara Bersama Pramuka Saka Wanabakti Gelar Mabim Diklatsar