FOKUSSATU.ID - Kontroversi sempat menyeruak terkait pembangunan Kereta Cepat Bandung-Jakarta (KCJB). Bukan hanya terkait proses pembangunannya, pro-kontra juga dikaitkan dengan namanya.
Pada masa-masa awal pembangunannya, nama yang digaungkan adalah Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Belakangan, nama KCIC lebih dilekatkan pada perusahaan patungan Indonesia-China itu.
Pada rencana awal yang diluncurkan, ada empat transit oriented develompent (TOD). Dari keempatnya, satu berada di DKI Jakarta, yakni Halim dan tiga di Provinsi Jawa Barat, yakni di Karawang, Walini, dan Tegalluar.
Baca Juga: Selain Korupsi, Ada Kerangkeng Pekerja di Rumah Bupati Langkat TRP, Diduga Perbudakan Modern
Dalam perkembangannya, TOD Walini ditunda lebih dahulu.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menilai Padalarang lebih pas daripada Walini. Hanya saja, salah satu syaratnya untuk mengoptimalkan TOD Padalarang adalah harus ada feeder dari Kebon Kawung serta melayani Bandung dan Cimahi.
Padahal, di kawasan Walini sudah beredar banyak pihak yang berusaha membebaskan lahan. Hal itu bisa dipahami mengingat rencana awal di TOD Walini pada awalnya akan dikembangkan menjadi alternatif pengganti Ibu Kota Jawa Barat. Bahkan ada renana dibangun pula kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan demikian, dibutuhkan lahan lebih dari seribu hektare.
Di sisi lain, dengan ditambahnya TOD Padalarang, dibutuhkan pula kerja sama dengan manajemen Kota Baru Parahyangan. Memang pasti dibutuhkan banyak penyesuaian. Meskipun demikian, Padalarang dinilai lebih strategis. Padalarang dianggap lebih potensial menjadi titik pertemuan dari banyak lokasi, sehingga lebih potensial pula untuk menjaring penumpang.
Trase KCJB pada awalnya disetting sejajar jalan tol. Namun, kalau itu yang dipilih, bisa berbahaya. Tikungan di Karawang terlalu tajam. Dengan kecepatan bisa mencapai 350 km/jam, tikungan bisa dipastikan akan membahayakan keselamatan penumpang KCJB.
Selain itu, pergeseran trase dan TOD Karawang ke bagian selatan pasti memberi manfaat lain. Dengan pilihan itu, perkemangan Karawang selatan juga lebih terakselerasi. Ini berarti TOD Karawang diharapkan juga sekaligus sebagai pendorong percepatan pengembangan kawasan.
Baca Juga: Prilly Latuconsina Siap Ikuti Jejak Raffy Ahmad dan Atta Halilintar, Akuisisi Persikota Tangerang
TOD Halim merupakan satu-satunya stasun elevated. Dengan luas sekitar 7,5 hektare, stasiun yang sangat menarik karena berada di perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Stasiun ini diharapkan juga menjadi stasiun terpadu yang akan menjadi salah satu "stasiun wisata".
KCJB diharapkan menjadi kebanggaan masyarakat. Kontribusi KCJB juga tidak sedikit. Hingga akhir Desember 2021 saja sudah Rp3 triliun lebih. Halim saja bisa Rp1,5 triliun untuk pembebasan lahan.
Artikel Terkait
DPRD Jabar Soroti Jalur Kereta Api yang Kini Sudah Tidak Aktif, Padahal Bersejarah
Warga Kabupaten Tasikmalaya Audiensi dengan Komisi I DPRD Jabar, Minta DOB Tasela
Pembayaran Sudah 100 Persen, DPRD Jabar Minta Revitalisasi Situ Ciburuy Dapat Segera Rampung
DPRD Jabar Minta Dalam Pencegahan Paham Terosisme BNPT Harus Libatkan Multi Sektor
Pansus VIII DPRD Jabar Belajar Pengelolaan Minyak Bumi dan Gas ke Semarang
KCIC Bandung Jakarta, DPRD Jabar Ingatkan Mitigasi Bencana dan Ruang Perekonomian Masyarakat