Dengan dalih telah mendapatkan izin dari pemerintah, perusahaan tambang lalu biasanya meminta kepada aparat keamanan untuk mengamankan kegiatan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak. Investasi yang ada dijaga ketat aparat keamanan karena dianggap sebagai instalasi penting negara.
Berbagai riset menunjukkan, masyarakat di daerah tambang itu selalu menunjukkan kehidupan yang lebih buruk dari sebelumnya, baik ditinjau dari kualitas hidup maupun lingkunganya. Mereka tidak memberikan keuntungan jangka panjang apapun buat masyarakat sekitar kecuali kenikmatan sesaat ketika terima uang ganti rugi. Apalagi di daerah yang sulit dijangkau semacam Freeport di Papua, masyarakat di daerah itu jangankan keuntungan, akses informasi saja tidak punya.
Perusahaan tambang dimana-mana orientasinya adalah untuk mengejar keuntungan bagi segelintir orang pemilik perusahaan semata. Pemilik saham perusahaan bahkan mungkin tak pernah menginjakkan kakinya di daerah tambang tersebut.
Konspirasi global
Jika kita pahami lebih dalam, kasus di daerah tambang yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang sebetulnya adalah ekses dari sebuah konspirasi besar elit kapitalis dan negara imperialis.
Baca Juga: Ade Afriandi Resmi Ditunjuk sebagai Bupati Subang, Diminta Selesaikan Masalah Tambang Ilegal
Elit kapitalis dan negara imperialis melalui berbagai organisasi multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), World Trade Organization (WTO) dan lain-lain itu masuk merangsek ingin kuasai terus ekonomi negara miskin dan berkembang. Mereka menjebak negara miskin dan berkembang melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur dan importasi untuk konsumsi.
Utang dari lembaga lembaga multilateral maupun utang bilateral dari negara negara maju itu masuk dan dieskalasi di saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Sebut misalnya krisis ekonomi tahun 1997 lalu krisis tahun 2008 dan krisis ekonomi akibat Pendemi saat ini.
Melalui "utang haram" yang penggunaannya dikomitmenkan untuk bangun proyek infrastruktur itu, negara-negara maju tak hanya mendapatkan keuntungan dari bunga, kepentingan lebih besar mereka adalah untuk jebak negara miskin dan berkembang seperti Indonesia agar kondisi fiskalnya menjadi bergantung pada utang.
Seperti Indonesia saat ini, utang yang meningkat secara agresif di masa pemerintahan Jokowi telah membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung dari utang.
Baca Juga: PT Tekindo Energi Gelar Penanaman di Area Reklamasi Pasca Tambang Seluas 92 H
Utang haram yang ada itu dikomitmenkan untuk bangun infrastruktur fisik seperti jalan raya, waduk, listrik, bandara, pelabuhan dan lain lain. Infrastruktur yang ada itu sebetulnya untuk dijadikan sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditi ekstraktif tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit dengan memberikan beban berat secara fiskal kepada negara.
Selain itu, mereka butuh daya dukung infrastruktur regulasi, seperti misalnya bentuk UU Ciptakerja yang dibentuk secara inkonstitusional dan isinya sesungguhnya hanya untuk perlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing itu.
Mereka, sebetulnya juga telah secara sistematik lemahkan berbagai regulasi ekonomi yang ada. Misalnya, kita adalah pemilik UU terliberal di dunia untuk sektor perbankkan. Kepemilikan asing dibiarkan kepemilikannya hingga 99 persen sejak krisis ekonomi 1997.
Sebagaimana kita tahu, dalam ekonomi, sektor keuangan itu ibarat tubuh adalah darah. Kita bebaskan negara lain kuasai darah dalam tubuh kita. Sebut misalnya BRI, Bank yang katanya milik negara ini saja, 70 persen lebih saham publiknya telah dikuasai asing.
Artikel Terkait
PLN Amankan Pasokan Batu Bara Jangka Panjang dari Tambang Bukit Asam
Api PON Papua Kelilingi Lima Wilayah Adat, Diambil dari Lokasi Tambang Zaman Belanda
Wagub Jabar Imbau Investor, Kontraktor, Developer Beli Material Tambang dari Perusahaan Berizin
Dituding Miliki Tambang di Ibu Kota Negara Baru, Ini Penjelasan Jubir Luhut BP