news

‎Tinjauan Yuridis atas Permasalahan dalam Perjanjian antara Arsitek, Kontraktor, ‎dan Konsumen

Selasa, 4 November 2025 | 15:08 WIB
H. Yovie Megananda Santosa, S.H., M.Si, seorang advokat dan konsultan hukum (Foto Istimewa)


‎FOKUSSATU.ID, BANDUNG - ‎Hubungan kerja antara arsitek, kontraktor, dan konsumen (pemilik proyek) dalam dunia ‎konstruksi sering kali menimbulkan persoalan hukum yang kompleks.

‎Hal ini disampaikan ‎oleh H. Yovie Megananda Santosa, S.H., M.Si, seorang advokat dan konsultan hukum yang menyoroti pentingnya kejelasan kontrak kerja di bidang jasa konstruksi.

‎Menurut Yovie, perjanjian antara arsitek dan kontraktor dengan konsumen bukan hanya ‎kesepakatan teknis, tetapi juga dokumen hukum yang mengikat secara perdata.

Baca Juga: ‎Meniti Ulang Jalan Integritas ‎Sebuah Perjalanan Hukum dan Kebangkitan Diri

‎“Pasal 1338 KUH Perdata sudah jelas menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah ‎berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,” ujarnya.

‎Masalah Umum dalam Kontrak Konstruksi ‎Beberapa masalah hukum yang paling sering muncul, menurut Yovie, antara lain:

1. Ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan desain arsitek, yang menimbulkan perdebatan ‎soal siapa yang harus bertanggung jawab.

2. Keterlambatan penyelesaian proyek, yang tergolong wanprestasi dan dapat berujung ‎pada tuntutan ganti rugi.

Baca Juga: ‎Hukum, Kehormatan, dan Kesempatan Kedua, Refleksi Seorang Advokat tentang Arti Kebangkitan

3. Perubahan desain atau pekerjaan di tengah jalan (adendum kontrak) tanpa kesepakatan ‎tertulis yang jelas.

4. Cacat hasil bangunan setelah proyek selesai, yang sering kali menjadi sengketa antara ‎konsumen, arsitek, dan kontraktor.

‎“Dalam banyak kasus, akar masalahnya adalah kontrak yang dibuat tanpa pendampingan ‎hukum atau hanya berdasarkan kesepakatan lisan,” jelas Yovie.

‎Aspek Legalitas dan Tanggung Jawab
‎Yovie menegaskan, UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur bahwa setiap ‎arsitek dan kontraktor wajib memiliki sertifikat kompetensi dan izin usaha jasa konstruksi ‎(IUJK). Tanpa itu, kontrak kerja bisa dianggap cacat hukum.

Baca Juga: ‎Kuasa Hukum Angkat Bicara Soal Dugaan Mark Up Data BPMU di SMK Dharma Pertiwi

‎“Kalau pihak pelaksana tidak memiliki legalitas formal, kontrak tersebut bisa dipersoalkan
‎keabsahannya dan berpotensi dibatalkan,” tegasnya

‎Langkah Pencegahan ‎Sebagai solusi, Yovie menyarankan agar setiap pihak:
‎- Membuat kontrak tertulis lengkap dengan RAB dan gambar kerja.
‎- Menetapkan mekanisme tertulis untuk perubahan pekerjaan (variation order).
‎- Menentukan forum penyelesaian sengketa, misalnya melalui arbitrase konstruksi ‎(BAKN) atau mediasi hukum.

‎“Kontrak yang baik bukan hanya soal hitam di atas putih, tapi juga perlindungan bagi semua
‎pihak,” kata Yovie.

‎Ia menambahkan, proyek konstruksi yang berjalan tanpa dasar hukum yang kuat akan mudah ‎menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Baca Juga: Kebersamaan Bupati dan Kajari: Simbol Sinergi Ditengah Konflik Kepentingan Kasus Hukum

‎“Asas pacta sunt servanda menegaskan bahwa setiap perjanjian yang sah berlaku seperti ‎undang-undang bagi pihak yang menandatangani. Karena itu, penyusunan kontrak harus ‎disertai pemahaman yuridis yang matang,” tutupnya.

‎Kontak Narasumber:
‎H. Yovie Megananda Santosa, S.H., M.Si
‎Advokat & Konsultan Hukum
‎Email: yoviesantosa@gmail.com
‎HP: 0852-2226-5555 Bu
‎Instagram: @yoviemeganandasantosa

Tags

Terkini