Hebatnya, putusan MK tentang DKPP tersebut tidak hilang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi justru hidup kembali di Pasal 458 ayat (3) dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Pasal 458 ayat (3) kemudian diuji kembali oleh mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik.," paparnya.
Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 memperkuat putusan MK sebelumnya (Nomor 31/PUU-XI/2013) yang diputus pada tanggal 29 Maret 2022 lalu.
Rumah Demokrasi melihat ada spekulasi kedua yakni retaknya komunikasi politik antara Pemerintah dengan elit politik yang menyebabkan penundaan pencalonan anggota DKPP usulan Pemerintah.
Padahal mekanisme pengusungan nama calon DKPP oleh Pemerintah tidaklah serumit rekruitmen KPU RI dan Bawaslu RI. "Pemerintah tidak memerlukan waktu lama untuk mengusulkan nama-nama yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menjadi anggota DKPP.," ujar dia.
Pemerintah, lanjut Ramdansyah, tidak harus berkonsultasi dengan elit politik, karena partai politik sudah diberi peluang sendiri oleh UU untuk mengajukan tiga nama. Justru Keppres penundaan nama calon anggota DKPP hingga 3 bulan kedepan ini, ungkap Ramdanysha, dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik, karena tahapan penting Pemilu dan Pilkada perlu pengawalan dari komisi pemilihan umum yang terdiri dari; KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI. "Jangan sampai tahapan yang sudah berjalan dapat diintervensi oleh DKPP yang berpotensi menjadi lembaga superbody," tegasnya.
Oleh karena itu, Rumah Demokrasi mengharapkan tidak muncul Keppres lagi untuk penundaan masa jabatan DKPP ketika 3 bulan kedepan. Pemerintah berhak menentukan sendiri 2 nama yang memiliki kredibilitas dan integritas sebagai penjaga kode etik Pemilu nantinya. Kepastian hukum akan anggota DKPP tentunya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap Pemilu 2024.***014
Artikel Terkait
KPU Kembali Gunakan Kotak Suara Kardus Pada Pemilu 2024
Tolak Politik Uang, Pengamat Pemilu Dukung Pernyataan Wagub DKI
Strategi dan Efektivitas Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu 2024 Butuh Ini