Polemik Penetapan Penjabat Gubernur Rumah Demokrasi Minta Pemerintah Lakukan Ini

photo author
- Jumat, 27 Mei 2022 | 23:27 WIB
Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah Bakir
Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah Bakir

FOKUSSATU.ID- Masa jabatan gubernur dan wakil gubernur di 24 provinsi berakhir antara tahun 2022 hingga 2023 mendatang dan akan digantikan oleh penjabat kepala daerah.

Mereka akan mengisi posisi kepala daerah hingga terpilihnya kepala daerah definitif melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 mendatang. Namun pengisian posisi penjabat ini menimbulkan sejumlah polemik di daerah hingga munculnya penolakan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi, meski akhirnya melantik Penjabat (Pj) Bupati Muna Barat (Mubar) Bahri dan Buton Selatan (Busel) La Ode Budiman di Kendari,yang dipilih oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Berkaca dari sejumlah kasus yang muncul ke permukaan, Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan penetapan penjabat gubernur oleh pemerintah sepatutnya berdasarkan pada aturan teknis yang dibuat secara cermat, sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta yang ikut menanggapi webinar dengan tema “Problematika Pengangkatan Penjabat Daerah” yang digelar Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FHUI berkolaborasi dengan Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI ini menjelaskan bahwa , aturan teknis yang sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik ( AUPB) mengacu pada prinsip demokrasi, bersifat terbuka, transparan, dan akuntabel serta memastikan penetapan penjabat gubernur tidak merugikan hak-hak kebebasan sipil dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Aturan teknis mengenai penetapan penjabat gubernur perlu dibuat oleh pemerintah, terang Ramdansyah, karena merupakan salah satu ketentuan yang dimuat pada pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XIX/2021.

Baca Juga: Tito Karnavian Siapkan calon Pengganti Anies, 3 Nama Pj Gubernur DKI Jakarta Ditimang timang

Menurutnya pertimbangan hukum MK tersebut menyebutkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016.

"Dengan demikian, tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi," ujar mantan Sekjen Partai Idaman ini.


Lantas, tambah dia, aturan teknis juga akan memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah.

Karena, jelas dia, bila tidak ada peraturan teknis, maka Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa penjabat gubernur, bupati, dan wali kota adalah pegawai negeri sipil yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku akan menjadi multiinterpretasi.

Ramdansyah menyampaikan bahwa aturan teknis penetapan penjabat gubernur secara terbuka yang dibuat oleh pemerintah itu dapat menunjuk TNI ataupun Polri.
Namun,tak bisa asal tunjuk. Penunjukan perlu merujuk pada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam aturan tersebut, disebutkan ada tiga tingkat bahaya.

"Tingkat bahaya paling rendah adalah keadaan darurat sipil di mana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah. Lalu, keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi darurat militer dan darurat perang. Dalam kondisi sekarang, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai penjabat gubernur tidak beralasan," tegas Ramdansyah.

"Pemerintah menganggap penunjukan anggota Polri aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat oleh Mochamad Irawan tahun 2018 adalah dibenarkan.  Hal tersebut adalah preseden yang perlu dievaluasi oleh Pemerintah. Apakah keputusan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian?," sambungnya.

Baca Juga: Ridwan Kamil Unggul pada Tingkat Kesukaan Publik, Jauh di Atas Prabowo, Sandiaga Uno dan Anies Baswedan

Pasal 28 ayat 3 UU No. 2 tahun 2002 yang berbunyi, “anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”. Saat itu pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat Komjen Pol. Mochamad Irawan sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Madya setelah menduduki Jabatan sebagai Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional (Sestama Lemhamnas), tetapi posisi yang bersangkutan masih tetap aktif sebagai anggota TNI Polri. Sebagai anggota Kepolisian aktif saat itu ia harus tunduk pada UU Kepolisian.
Masih kata Ramandansyah, posisi aktif di Kepolisian lalu diangkat sebagai pejabat gubernur  dapat mengurangi kebebasan sipil juga berlaku terhadap anggota TNI. Ketentuan Pasal 47 UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan ini menyebutkan bahwa Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Arismen Fokussatu

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

OJK Gelar Porseni FKIJK 2025

Jumat, 19 Desember 2025 | 07:41 WIB
X