Pengembangan Pariwisata Wilayah Jawa Barat Selatan lebih Lambat dari Wilayah Tengah Maupun Utara

photo author
- Minggu, 22 Agustus 2021 | 16:04 WIB
Menggagas Pariwisata Penuh Berkah (Oleh Siti Susanti, S.Pd./ Fokussatu.id)
Menggagas Pariwisata Penuh Berkah (Oleh Siti Susanti, S.Pd./ Fokussatu.id)

Menggagas Pariwisata Penuh Berkah


Oleh Siti Susanti, S.Pd.

Fokussatu.Id - Pengembangan Wilayah Jawa Barat Selatan lebih lambat dari wilayah tengah maupun utara Jabar. Kontur yang sulit serta terkait konservasi menjadi alasannya. Padahal, potensi alam menjadi unggulan wilayah ini. Sebutlah Sukabumi, Garut, dan Pangandaran memiliki destinasi pantai yang elok.

Ke depan, program pengembangan wilayah ini akan lebih digalakkan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menganggarkan Rp157 triliun untuk menunjang 80 program bagi pengembangan wilayah Jabar selatan.

Dilansir pikiranrakyat.com, program yang disiapkan tersebut menggunakan konsep pengembangan wilayah terpadu berbasis sumber daya alam. Terdiri atas sektor pariwisata, kelautan perikanan, agribisnis, dan infrastruktur.

Baca Juga: Ingin Liburan Ke Jalur Puncak Bogor? Ini Delapan Tempat Wisata Terbaru, Kekinian Dan Terhits

Menyorot pengembangan wilayah terkait sektor pariwisata, hendaknya tidak hanya memandang dari satu sisi, namun perlu diperhatikan dampaknya terutama kepada keluarga, perempuan, dan generasi

Sebagaimana diketahui, pariwisata dapat menjadi gerbang akulturasi budaya, akibat para turis yang datang dari berbagai wilayah bahkan luar negeri. Jika budaya yang masuk positif, tentu baik. Namun jika yang datang adalah budaya kebebasan dan hedonisme, tentu memberi dampak buruk.

Tempat wisata menuntut konsekuensi disediakan penginapan maupun hotel. Tidak bisa dipungkiri, penginapan maupun hotel terkait dengan tindakan asusila semisal prostitusi dan ketersediaan miras. Hal ini, tentu akan berdampak terhadap masyarakat sekitar. Seorang teman yang rumahnya hanya dipisah tembok pembatas dengan kawasan hotel berkisah, ia sering melihat penghuni hotel berada di balkon kamarnya disertai aktivitas yang tidak layak disaksikan. Berusaha tidak melihat, pemandangan tersebut terlihat jelas bahkan terjadi berulang-ulang.

Pemilik kebijakan selayaknya memerhatikan hal ini, dan membuat langkah-langkah preventif maupun kuratif agar pariwisata tidak memberikan dampak negatif, bahkan bisa dikatakan sebagai bencana bagi masyarakat, yang tidak dapat diganti dengan nominal uang seberapapun besarnya.

Namun tampaknya, aspek-aspek negatif ini tidak terlalu diperhatikan dalam sistem kehidupan saat ini. Hal ini tidak lain akibat penerapan sistem kapitalisme. Tentu ini menjadi hal ironis, mengingat muslim adalah mayoritas penduduk negeri tercinta kita ini.

Sistem kapitalisme berbasis ide sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, sektor wisata dianggap tidak ada kaitannya dengan agama. Maka dalam realitas, liberalisme/ide kebebasan dianggap sesuatu yang biasa, sebagai bagian dari hak individu. Imbasnya, masyrakat seolah dipaksa untuk permisif terhadap berbagai bentuk kebebasan.

Perempuan kerap kali menjadi korban arus liberalisasi ini. Dilatarbelakangi dorongan ekonomi dan iman yang lemah, merekalah yang akhirnya terbawa arus dunia kelam prostitusi. Demikian pula anak-anak, dipaksa untuk menerima lingkungan yang permisif terhadap kebebasan.

Ditambah lagi, sistem kapitalisme menjadikan untung rugi secara ekonomi sebagai hal yang utama. Maka tidak aneh, hitung-hitungan keuntungan berupa masuknya pendapatan dari sektor pariwisata berupa devisa ataupun pajak, itulah yang menjadi fokus perhatian. Berbagai hal yang bertentangan bahkan mengandung kesyirikan malah dipertahankan dengan alasan menjadi daya tarik bagi pengunjung.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Wisnu Fokussatu

Tags

Rekomendasi

Terkini

X