FOKUSSATU.ID- Kompleksitas persolan pemilu serentak 2024 perlu diantisipasi sejak awal termasuk ancaman praktik politik uang yang kerap muncul. Demikian benang merah yang disampaikan Wagub DKI Ahmad Riza Patria saat menghadiri Apel Siaga Kesiapan Pengawas Pemilu yang diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta, di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Senin, 23 Mei 2022.
Politik uang merupakan ancaman serius pada Pemilu mendatang. Berkaca pada kasus Pemilu 2019 berdasarkan catatan Burhanuddin dkk, (2019), jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 berada di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Prosentase politik uang sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia. Data ini menunjukkan, praktik politik uang menjadi praktik normal dalam Pemilu Indonesia.
Merujuk pada pernyataan Wagub dan data tingginya politik uang, Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah mendukung pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria yang mendorong masyarakat untuk ikut terlibat mencegah dan menolak segala bentuk pelanggaran pemilu, termasuk politik uang.
Baca Juga: KPU Kembali Gunakan Kotak Suara Kardus Pada Pemilu 2024
"Saya mendukung pernyataan wagub DKI Jakarta, dalam pilkada. Selaku mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta, saya meminta kepada Bawaslu harus mempunyai konsep yang jelas tentang politik uang. Sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat banyak," ujar Pengamat Pemilu Ramdansyah, Senin (23/5/2023).
Dengan konsep yang jelas tentang politik uang, terang Ramdansyah maka kemudian penyelenggara pemilu bisa punya program untuk antisipasi.
"Dari konsep kemudian punya program. Programnya apa? yang utama itu program pencegahan politik uang. Karena politik uang itu kejahatan kerah putih," jelas Ramdansyah
Lelaki yang memiliki sederet gelar akademis ini menyatakan bahwa politik uang adalah bagian dari kejahatan kerah putih yang sangat sulit dideteksi dan kemudian ditindak.
"Jadi dengan konsep yang jelas, kemudian disosialisasikan. Kemudian bisa dilakukan pencegahan," imbuhnya.
Menurutnya, politik uang itu sebenarnya dapat muncul ketika di awal. Yakni ketika rekrutmen penyelenggara. "Kita kedalam dulu, jangan keluar. Jadi Kemudian melakukan pencegahan penyelenggara atau timsel. Sekarang inikan baru dibentuk timsel Bawaslu, kemudian nanti KPU. Maka kemudian tidak boleh ada politik uang dalam proses rekrutmen. Dengan imbalan balas jasa," terangnya.
Mengenai apakah ada potensi penyelenggara yang bayar atau nyogok? Ramdansyah menegaskan bahwa itu bisa saja potensi terjadi politik uang.
"Karena terkait kerjaan, inikan cari kerja Bukan pada idealisme," papar Ramdansyah.
Yang kedua potensi politik uang bisa terjadi karena partai politik, calon peserta pasti ingin terpilih. Dia melakukan proses ijon.
"Untuk menanam penyelenggara sebagai anak buahnya. Sehingga kemudian dapat mempengaruhi keputusan," ujar Ramdansyah. "Kalau kemudian dari awal sudah tidak bersih bagaimana mau membersihkan," sambungnya.
Jadi, dari sejak proses rekrutmen sudah dilakukan dengan cara cara yang bersih. maka akan menghasilkan output yang baik.
Baca Juga: Pengamat Pemilu Usul Medsos Jadi Pengawasan Partisipatif Bawaslu Pada Pemilu 2024
Sementara itu mengenai PJ Gubernur DKI Jakarta? Ramdansyah mengatakan, bisa mengacu kepada Undang-Undang pemilu atau UU Pemda.
Artikel Selanjutnya
MK: Putusan DKPP Tidak Lagi Final dan Mengikat, Mengulang Uji Materi Ramdansyah
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Artikel Terkait
MK: Putusan DKPP Tidak Lagi Final dan Mengikat, Mengulang Uji Materi Ramdansyah
Mayoritas Pemilih Partai Politik Tolak Penundaan Pemilu 2024
Resmi Terdaftar, Pengamat Politik P3S, Jerry Massie: Siapa Sutradara di Balik Partai Mahasiswa Indonesia Ini?