FOKUSSATU.ID-Pengawasan partisipatif, selain konvensional, secara daring sangat penting pada Pemilu 2024 mendatang.
Artinya, media online, media sosial, seperti whatsApp dan twitter bisa menjadi bagian dari pengawasan partisipatif Bawaslu pada Pemilu 2024. Demikian kesimpulan yang disampaikan Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah dalam kesempatan sebagai narasumber di Acara Pengawasan Partisipatif Bawaslu Kota Jakarta Pusat, 22 April 2022 di Hotel Cemara, Jakarta Pusat.
"Nanti saya berharap pengawasan partisipatif tetap secara konvensional. Tetapi teman-teman yang di divisi internet juga melakukan pengawasan. Pengawasan partisipatif itu harus jadi luring dan daring mesti diterapkan," ujar Ramdansyah yang juga mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta ini.
Selain itu, terang pria dengan sederet gelar akademis ini, prinsip pengawasan partisipatif pada 2024 nanti, harus bisa melampaui pengawasan partisipatif yang pernah dilakukannya pada 2012, 2014 dan 2019. Apalagi pada 2024 nanti larinya ke media sosial sehingga harus punya cara teknis dan teknik dalam mengatasi beragam informasi. " Kita harus bisa mengatasi simpang siur informasi di dunia maya. Disini kita bisa lakukan terobosan," jelas Ramdansyah.
Baca Juga: Presiden Resmi Lantik KPU dan Bawaslu, Pengamat: Penyelenggara Pemilu Butuh Kepastian Hukum
Lelaki yang bersahabat dengan Rhoma Irama ini lantas menekankan pentingnya memiliki data lengkap bagi seorang pengawas. Hal ini untuk mengantisipasi kekeliruan termasuk kecurangan dalam pengolahan data yang diperoleh dari tempat pemungutan suara (TPS).
"Kalau dulu yang kita lakukan di 2012 adalah hasil real count dari TPS selesai bawa ke kantor Panwaslu DKI Jakarta (sekarang Bawaslu DKI Jakarta), kita, nggak boleh ada yang pulang sebelum datanya selesai." ujarnya
Dengan demikian, tutur Ramdansyah, teman-teman pengawas punya data pegangan yang lengkap.
"Saat itu ada yang meributkan di (salah satu TPS) Pasar Minggu, kita bisa bilang itu salah ketik. Selesai. Tapi kalau panwasnya tidak punya pencegahan, konsep pencegahan yang seperti itu, yah sudah dia hanya cuman makan gaji buta. Sekedar hanya memenuhi kewajiban," tegas Ramdansyah.
Sementara itu yang juga tak kalah pentingnya dalam melakukan pengawasan, penyelenggara Pemilu harus populis. Bagaimana mengcounter sosok yang sangat populer, populis? Tetapi kemudian Bawaslu dan KPU nya tidak bisa punya posisi yang sama.
"Ketika lawan populer maka penyelenggara juga harus populer harus kemudian bisa tampil. Kalau 2011 dan 2012 zamannya saya itu, koran, TV sudah cukup mewakili untuk menjadi populer. Hari ini, twitter, instagram, YouTube itu bagian yang penting dari popularitas," terang Ramdansyah.
Media sosia itu bagian penting dari yang namanya selebritis sosial. Bawasalu jangan hanya berkutat di website sendiri, namun juga harus merambah media sosial lainnya. " Jika temen-temen Bawaslu nggak pernah bikin pernyataan di podcast di medsos, selesai itu," kata lelaki yang suka berkacamata warna warni ini.
Penyelenggara harus setara dengan peserta Pemlu dari sisi pandangan masyarakat. Kalau tidak sebanding, maka potensi pengawasan tidak menjadi efektif. Media juga hanya akan tertarik melakukan wawancara para peserta Pemilu/Pilkada karena memiliki popularitas yang tinggi. Karena seperti diketahui, para calon legislatif, kepala daerah dan presiden cenderung dari kalangan populis. "Kalau penyelenggara tidak berusaha tampil populis untuk menyampaikan pandanganya, maka produk pengawasan penyelenggara akan sulit untuk terdengar di masyarakat," tandas lelaki yang hobi berpuisi ini.
Artikel Terkait
Percepat Sengketa Pemilu, DPR Dorong KPU dan Bawaslu Lakukan Ini
Bawaslu Harus Berani Jadi Wasit Adil dan Tegas
JPPR Tegaskan Ini Kepada Timsel KPU dan Bawaslu