Refleksi Tragedi Kampung Cae sebagai Cermin Ketidakpekaan Sosial

photo author
- Minggu, 7 September 2025 | 19:52 WIB
Warga Kampung Cae dikejutkan penemuan tiga jenazah, seorang ibu dan dua anaknya, di rumah kontrakan./Jumat (5/9/2025) dini hari/ Ilustrasi/ Foto: Tangkapan Layar.
Warga Kampung Cae dikejutkan penemuan tiga jenazah, seorang ibu dan dua anaknya, di rumah kontrakan./Jumat (5/9/2025) dini hari/ Ilustrasi/ Foto: Tangkapan Layar.

Tragedi ini bukan sekadar kisah pribadi, melainkan refleksi dari kegagalan sistemik di mana janji-janji pemimpin politik sering kali menguap setelah pemilu, meninggalkan masyarakat rentan tanpa dukungan nyata.

Oleh Dr. Dimitri Mahayana
Sekretaris Dewan Syura IJABI

DI TENGAH hiruk-pikuk kehidupan masyarakat kontemporer yang penuh dengan isu ekonomi, psikologis, dan politik, kisah tragis dari *Kampung Cae di Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung,* menjadi pengingat yang menyayat hati tentang betapa pentingnya komunikasi empatik dan rasionalitas dalam mengelola dinamika sosial.

Seorang ibu muda berinisial EN (34 tahun) memilih mengakhiri hidupnya bersama dua anaknya, AA (9 tahun) dan AAP (11 tahun), karena terjerat beban hidup yang tak tertahankan: komunikasi rumah tangga yang buruk, hutang yang menumpuk, dan tekanan psikologis dari lingkungan sekitar.

Tragedi ini bukan sekadar kisah pribadi, melainkan refleksi dari kegagalan sistemik di mana janji-janji pemimpin politik sering kali menguap setelah pemilu, meninggalkan masyarakat rentan tanpa dukungan nyata.

Baca Juga: Kota Bandung Perkuat Pendidikan Karakter Siswa Lewat Pendekatan Humanis

Kampanye yang penuh janji kesejahteraan berubah menjadi kekecewaan, di mana tim sukses hilang pasca-pemilihan, dan isu seperti kenaikan tunjangan DPR memicu demonstrasi besar-besaran tanpa solusi tuntas.

Kisah ini menyoroti hilangnya empati sosial di kalangan masyarakat, di mana individualism semakin mendominasi, dan praktik gotong royong seperti berkumpul di "golodog" atau teras rumah untuk saling berbagi beban mulai pudar.

Komunikasi Empatik dan Rasionalitas

Dalam bidang komunikasi empatik, para pemikir dan cendekiawan kontemporer menekankan bahwa empati bukan hanya emosi pribadi, melainkan alat strategis untuk mengelola isu masyarakat yang kompleks, seperti ketidakadilan sosial, konflik politik, dan krisis psikologis.

Marshall Rosenberg, pencetus Nonviolent Communication (NVC), misalnya, berpendapat bahwa komunikasi empatik melibatkan pengamatan tanpa penghakiman, pengakuan perasaan, identifikasi kebutuhan, dan permintaan yang jelas, yang dapat mencegah eskalasi konflik dalam dinamika masyarakat.

Baca Juga: Apresiasi Kesenian Wayang Golek, Erwin: Pemuda Kelurahan Manjahlega Sangat Cinta Budaya

Pendekatan ini selaras dengan Jürgen Habermas, filsuf Jerman yang mengembangkan teori komunikasi rasional, di mana rasionalitas bukan hanya logika dingin, tetapi juga dialog yang berbasis pada pemahaman bersama untuk mencapai konsensus dalam isu publik.

Habermas menekankan bahwa dalam masyarakat kontemporer yang penuh polarisasi, seperti demonstrasi atas isu ekonomi di Indonesia, komunikasi rasional dengan elemen empati dapat mengubah aksi strategis (yang manipulatif) menjadi aksi komunikatif yang membangun keadilan sosial.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ariesmen Fokussatu

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

DPRD Kota Bandung Dukung Aksi Bela Palestina

Kamis, 14 Agustus 2025 | 10:30 WIB

Edwin Senjaya Gelar Syukuran Hari Jadi BFC ke 22 Tahun

Selasa, 12 Agustus 2025 | 12:03 WIB
X