Misalnya pertama terkait Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu yang membutuhkan waktu untuk inkracht. KPU dan Bawaslu dalam posisi juga harus menunggu Putusan Pengadilan Tata usaha negara, yang sangat mungkin menambah jumlah Calon dan mempengaruhi desain surat suara.
Kedua menyangkut percetakan surat suara yang terpusat hanya di beberapa titik. Di saat yang bersamaan antara masa kampanye juga sedang berlangsung pencetakan dan pendistribusian surat suara yang menunggu Putusan Inkracht pengadilan ada atau tidaknya tambahan Calon.
Ketiga, Distribusi Surat suara dan formular rekap suara. Pendeknya masa kampanye harus mempertimbangkan distribusi surat suara dan alat perlengkapan lainnya selama tengat." Jangan sampai terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan belum sampainya perangkat tersebut di sejumlah pelosok daerah," paparnya.
Tiga persoalan penting tersebut, terang Ramdan, harus ada jalan keluar dalam bentuk Contigency Plan. Karena pemilu di negara manapun, penyelenggara harus punya jalan keluar ketika terjadi persoalan
" Penyelenggara harus memastikan semua persoalan diatas bisa terselesaikan ketika muncul di permukaan. Dengan adanya jalan keluar, maka keserentakan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan Pilkada dapat meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, tetapi tanpa meninggalkan asas kepastian penyelenggaraan Pemilu," tuturnya.
Contingency plan pertama, terang dia, dapat melihat bagaimana Mahkamah Konstitusi menyaring perkara Caleg dengan memberikan ambang batas permohonan sengketa hasil dari 0,5% hingga 2% agar dapat diuji dalam perselisihan hasil pilkada di MK.
Dengan demikian, Otomatis tidak terjadi penumpukan perkara di MK. Dengan durasi kampanye yang singkat maka harus ada kebijakan Mahkamah Agung (MA) untuk mengurangi penumpukan perkara ketika berkas gugatan Caleg di Pengadilan Tata Usaha Negara / Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara? Tentu saja, jalan keluar ini tidak boleh mengurangi keadilan substansi dari Caleg yang mencari keadilan. Bahkan Peradilan Khusus Pemilu dapat menghilangkan beban MK apabila berhasil diwujudkan sebelum 2024.
Contingency plan kedua, lanjut Ramdan, adalah terkait dengan mekanisme dan pengadaan logistik Pemilu. Pemerintah dapat mengeluarkan payung hukum dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) untuk mengsinkronkan mekanisme dan pengadaan logistik. Penyelenggara diharapkan tidak melanggar hukum dengan keberadaan Keppres ini.
Selanjutnya, Contingency plan ketiga adalah dengan membuat Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk revisi terbatas. Perppu ini diharapkan dapat membuat jadwal yang tidak bertabrakan satu sama lain antara tahapan Pemilu dan Pilkada. Meskipun demikian Rumah Demokrasi memberikan catatan agar Perppu yang dikeluarkan tidak melebar kepada isu-isu substansi lainnya, tetapi hanya pada tahapan Pemilu serentak 2024 yang dianggap kurang sinkron.
Sementara itu, Totok Haryono yang mewakili Bawaslu RI mengetakan bahwa Pemilu 2024 itu membawa sipirit gotong royong. Karena itu, tidak ada alasan kontestasi jadi alat perpecahan karena itu mencederai spirit gotong royong.
"Partai politik bukan objek tetapi subjek. Negara hadir melalui Bawaslu dengan menciptakan pemilu yg aman, nyaman aman dan terpercaya.," ujar dia
Artikel Terkait
Suarakan Pemilu Tetap 2024 Rumah Demokrasi Usung Genre Dangdut
Masa Kampanye Pemilu Disepakati 75 Hari, Rumah Demokrasi Usulkan Perppu
Presiden Perpanjang Masa Tugas DKPP, Rumah Demokrasi Pertanyakan Urgensinya