nasional

Presiden Perpanjang Masa Tugas DKPP, Rumah Demokrasi Pertanyakan Urgensinya

Jumat, 10 Juni 2022 | 22:45 WIB
Presiden Joko Widodo perpanjang masa tugas DKPP, Rumah Demokrasi Pertanyakan Urgensinya

FOKUSSAT.ID-. Presiden Joko Widodo memperpanjang masa tugas anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2017-2022.

Ada lima orang anggota DKPP yang diperpanjang masa tugasnya hingga 3 bulan ke depan.
Perpanjangan tertuang dalam Keputusan Presiden RI (Keppres) 63/2022 tentang perpanjangan masa tugas anggota DKPP periode 2017-2022 unsur tokoh masyarakat. Keppres ditetapkan pada Rabu (8/6/2022) oleh Presiden Jokowi.

Menyikapi persoalan ini, Rumah Demokrasi mengapresiasi kehadiran Keppres No. 63/P Tahun 2022 tersebut. Keppres ini dinilai sebagai bentuk kepastian hukum dan mengacu kepada Pasal 155 ayat (4) huruf c dan ayat 5  tentang usulan 5 anggota DKPP yang 2 orang berasal dari Pemerintah dan 3 orang usulan dari DPR RI.
Kendati demikian, Rumah Demokrasi mempertanyakan urgensi perpanjangan masa jabatan itu Tampaknya, Pemerintah belum berani menyerahkan 2 nama yang diusulkan Pemerintah, karena inisiatif penundaan berasal dari Pemerintah.
"Rumah Demokrasi melihat penundaan pengusungan calon DKPP baru dapat menimbulkan sejumlah spekulasi," demikian Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah, Jumat (10/6/2022).

Pertama, jelas Ramdansyah, DKPP ini akan dibangkitkan kembali sebagai lembaga superbody. DKPP pernah menjadi lembaga superbody karena Undang-undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu membuat frasa  “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”. Kondisi ini, urai Ramdansyah, menimbulkan sejumlah masalah

" Frasa ini menjadikan DKPP berimajinasi sebagai “saudara kembar”dari Mahkamah Konstitusi.
MK adalah lembaga peradilan yang memiki kewenangan atribusi yang diberikan oleh UUD 1945 (Pasal 24C ayat 1). MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945 dan DKPP ingin seperti MK," ujar Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta ini.

Imajinsi lain dari DKPP, kata dia, adalah berani melakukan intervensi terhadap kewenangan lembaga lain, karena adanya kata “putusan” dalam frasa “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”.

DKP, lanjut Ramdan, berimajinasi sebagai bagian dari lembaga peradilan karena adanya kewenangan atribusi yang diberikan oleh UU. Padahal DKPP tidak masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman manapun.
Sebagai contoh, terang dia, Pilkada Kota Tangerang pernah diintervensi oleh DKPP di tahun 2013. DKPP mengalahkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Provinsi Banten.

"DKPP melakukan pemulihan hak konstitusional pasangan calon R. Wismansyah-Sachrudin. Padahal, Majelis Hakim PTUN Serang tengah memeriksa, mengadilan dan memutus perkara No. 23/G/2013/PTUN-SRG," bebernya.

Contoh lain, urai dua, terkait tahapan Pemilu 2014. Putusan DKPP Nomor : 23-25/DKPPPKE-I/2012 yang memutuskan agar KPU mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual untuk  Pemilu 2014 menunjukan lembaga ini sebagai superbody.

Baca Juga: Masa Kampanye Pemilu Disepakati 75 Hari, Rumah Demokrasi Usulkan Perppu

"Nantinya, DKPP bisa saja menghidupkan kewenangan untuk mengintervensi tahapan Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU RI untuk Pemilu 2024," tutur lelaki dengan sejumlah gelar akademis ini.
 
Rumah Demokras, lanjut Ramdansyah, i menganggap bahwa romantisme DKPP sebagai “superbody” bisa saja muncul. Padahal, putusan DKPP menurut MK telah tereduksi hanya sebagai keputusan Pejabat TUN yang setara dengan keputusan pejabat TUN lainnya dalam lingkungan penyelenggara pemilu; yakni keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atau keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Dengan demikian, kata dia, walaupun produk DKPP bernama putusan DKPP, namun sebenarnya adalah putusan Pejabat  TUN yang dapat menjadi obyek TUN yang bersifat rekomendasi saja.

Masih kata Ramdanyah bahwa fakta hukum ini ada tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013 yang diuji oleh Ramdansyah dari Rumah Demokrasi. "Putusan MK membatalkan Pasal 112 ayat 12 UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu," bebernya.

Berdasarkan putusan MK tersebut, urai dia, maka rekomendasi final dari DKPP yang bersifat final dan mengikat, tidak dapat memaksa lembaga penyelenggara kekuasaan negara lain, selain penyelenggara Pemilu dan Presiden.

Halaman:

Tags

Terkini

OJK Gelar Porseni FKIJK 2025

Jumat, 19 Desember 2025 | 07:41 WIB