FOKUSSATU.ID - Dunia dihadapkan pada berbagai konflik geopolitik yang mengubah peta perekonomian global. Ketidakpastian yang muncul akibat konflik ini menjadi momok bagi para investor, baik institusi maupun ritel.
Hal pertama yang terjadi saat muncul kabar konflik atau perang adalah meningkatnya ketidakpastian. Psikologi pasar cenderung bereaksi negatif terhadap ketidakpastian. Banyak investor memilih menjual saham dan mengalihkan dana ke aset "safe haven" seperti emas atau obligasi pemerintah.
Lonjakan harga emas pada awal perang Rusia-Ukraina adalah contoh nyata bagaimana investor mencari perlindungan.
Baca Juga: Pemkot Bakal Gulirkan Program Sunat Door to Door, Siap Jangkau Warga Kota Bandung
Selain itu, investor global cenderung menarik modalnya dari pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk mengurangi risiko. Menekan nilai tukar mata uang lokal dan membuat volatilitas pasar semakin tinggi. Salah satu dampak langsung dari perang adalah fluktuasi harga komoditas global, khususnya minyak, gas, dan pangan.
Misalnya, Rusia dan Ukraina merupakan eksportir gandum terbesar dunia. Konflik di wilayah tersebut sempat memicu lonjakan harga gandum global hingga puluhan persen. Kenaikan harga pangan dan energi kemudian mendorong inflasi di banyak negara.
Saat konflik geopolitik meletus, investor global cenderung memilih mata uang yang lebih stabil seperti dolar AS. Akibatnya, mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, sering kali tertekan. Depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya impor, menaikkan beban utang perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar, dan berpotensi menekan laba bersih emiten.
Sebaliknya, bagi emiten yang memiliki pendapatan ekspor dalam dolar, pelemahan rupiah bisa menjadi keuntungan tambahan. Contohnya, perusahaan kelapa sawit atau nikel yang mengekspor produknya dalam dolar bisa mencatatkan keuntungan selisih kurs.
Baca Juga: Bandung Great Sale 2025 Siap Digelar! APINDO Sampaikan Apresiasi Terhadap Program Wali Kota
Saat terjadi perang, indeks saham di banyak negara cenderung jatuh karena dominasi aksi jual. Contohnya, pada awal perang Ukraina, banyak indeks utama dunia seperti S&P 500, FTSE 100, hingga Nikkei 225 mengalami koreksi cukup tajam.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia juga tak luput dari tekanan. Namun, Indonesia memiliki keunikan karena didukung sektor komoditas yang justru bisa diuntungkan ketika harga komoditas global naik. Inilah sebabnya, meskipun sempat turun, IHSG pada beberapa periode perang berhasil pulih lebih cepat dibanding negara lain.
Adapun sektor usaha yang rentan adalah manufaktur berbasis impor. Kenaikan harga bahan baku dan pelemahan rupiah bisa menggerus margin laba. Lalu transportasi & logistik, terkena dampak kenaikan harga bahan bakar. Perbankan juga mengalami risiko kredit meningkat jika banyak perusahaan yang kesulitan membayar utang.
Sementara sektor yang diuntungkan adalah energi dan batu bara berkat harga komoditas global yang naik karena permintaan tinggi. Selain itu, perkebunan (CPO, karet) juga mendapat tambahan pendapatan ekspor. Lalu, logam dan mineral (nikel, tembaga) medapatkan dukungan permintaan global, khususnya terkait energi baru terbarukan.
Baca Juga: Lapang Sidolig Siap Digunakan untuk Latihan Tim Piala Presiden 2025
Artikel Terkait
Ketua DPRD Kota Bandung Bicara Soal Reaktivasi Bandara Husein Sastranegara
Ribuan Pengunjung Serbu Booth Pos Properti Indonesia di Pameran Pernikahan Terbesar Jawa Barat
Dadang M Naser Sosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan di Kabupaten Bandung
Lapang Sidolig Siap Digunakan untuk Latihan Tim Piala Presiden 2025
Bandung Great Sale 2025 Siap Digelar! APINDO Sampaikan Apresiasi Terhadap Program Wali Kota
Pemkot Bakal Gulirkan Program Sunat Door to Door, Siap Jangkau Warga Kota Bandung