Dalam paparannya yang berjudul Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia, Prof. Ricky menekankan perlunya pergeseran fundamental dalam memaknai kegiatan pariwisata. Rekreasi dan pariwisata, katanya, tidak boleh lagi dimaknai sebatas kebebasan bepergian.
“Harus diubah menjadi perjalanan berkesadaran yang memberi manfaat bagi semesta. Itulah ekowisata,” tegasnya.
Ekowisata, dengan demikian, bukan sekadar melihat keindahan alam, tetapi juga tentang cara menemukan jati diri bangsa, melestarikan warisan budaya yang kaya, dan secara konkret meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Prof. Ricky juga menyoroti harta karun Indonesia yang paling berharga namun terabaikan, yakni budaya Nusantara.
Dengan lebih dari 1.300 etnis, ratusan jenis seni bela diri, permainan tradisional yang beragam, hingga ribuan folklor yang belum terekspos, Indonesia berpotensi besar mengembangkan industri kreatif kelas dunia berbasis ekowisata budaya.
Baca Juga: Hotel Aston Madiun Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pariwisata
Untuk keluar dari jebakan pariwisata massal yang merusak dan tidak merata, Prof. Ricky menilai pengembangan pariwisata harus bergeser dari sekadar membangun fasilitas mewah untuk turis, menjadi pembangunan yang berpihak pada masyarakat lokal.
Prof. Ricky Avenzora menyoroti pentingnya peran sektor swasta sebagai inkubator bisnis komunal.
Pengusaha menengah-atas yang konsisten mengembangkan ekowisata harus didukung penuh. Sebagai contoh positif, ia menyebut inisiatif seperti EIGER Adventure Land.
“Indonesia hanya punya sedikit pengusaha wisata menengah-atas yang konsisten mengembangkan ekowisata. EIGER adalah salah satunya, dan semestinya didukung penuh pemerintah,” katanya, menunjukkan bahwa kolaborasi antara akademisi, masyarakat, dan pengusaha adalah kunci.
Baca Juga: Percepat Izin Usaha, Menteri Nusron Usulkan Akselerasi Digitalisasi 300 RDTR di 2026
Di sisi lain, Prof. Ricky melayangkan kritik keras terhadap praktik penyegelan dan pencabutan izin usaha wisata di sejumlah daerah.
“Pola hentikan dan bongkar adalah bentuk arogansi jabatan yang secara hukum tidak dibenarkan, serta secara sosial-ekonomi sangat merugikan masyarakat luas dan juga negara,” ujarnya.
Kebijakan yang tidak berpihak pada usaha rakyat dan dunia usaha hanya akan menghambat laju ekonomi berbasis pariwisata.
Sebagai jalan keluar yang komprehensif, Prof. Ricky menawarkan beberapa langkah strategis: