Upaya Hukum Praperadilan, Kuasa Hukum Natalria: Restorative Justice yang Diduga Cacat Hukum

photo author
- Senin, 11 November 2024 | 22:15 WIB

FOKUSSATU.ID, PONTIANAK- Kasus hukum yang mengguncang Polda Kalimantan Barat ini mencuat setelah, Natalria Tetty Swan Siagian, seorang kontraktor yang juga menjadi korban utama, mengajukan gugatan praperadilan.

Gugatan ini muncul akibat keputusan kepolisian yang menghentikan penyidikan dugaan penipuan dan penggelapan dengan tersangka Muda Mahendrawan, S.H., tanpa melibatkan Natalria sebagai korban.

Dalam laporan polisi yang diajukan pada Mei 2022, Natalria mengaku mengalami kerugian akibat tindakan yang diduga dilakukan oleh Muda Mahendrawan bersama Urai Wisata. Namun, ketika penyelidikan telah berjalan dan status tersangka telah disematkan pada kedua terlapor, Polda Kalimantan Barat justru mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) setelah kesepakatan damai dicapai dengan pelapor lain, Sdr. Iwan Darmawan, yang bukan korban langsung dalam kasus ini.

Baca Juga: Bikin Platform Serupa Bikinan Jokowi, Layanan Aduan Ala Gibran Bikin Bingung Warga

Prosedur Dipertanyakan: Restorative Justice yang Diduga Cacat Hukum

Polemik bermula saat Polda Kalimantan Barat menerima permohonan Restorative Justice dari Iwan Darmawan, saksi sekaligus pelapor dalam kasus ini, untuk menghentikan penyidikan.

Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah uang dikembalikan kepada Iwan, meski ia bukan korban yang mengalami kerugian. Langkah ini pun menuai protes dari Natalria yang menyatakan bahwa ia sebagai korban seharusnya dilibatkan dalam proses perdamaian, sesuai prinsip Restorative Justice yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021. Berdasarkan aturan, pendekatan keadilan restoratif seharusnya mengutamakan pemulihan hak-hak korban, yang dalam kasus ini justru diabaikan.

Baca Juga: Link Live Streaming, Sesaat Lagi Debat Perdana Pilgub Jabar 2024 Akan Dimulai

Gugatan praperadilan ini juga merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2024 yang menekankan bahwa Restorative Justice hanya dapat diterapkan apabila melibatkan korban secara langsung.

Ketidakhadiran Natalria sebagai korban dalam kesepakatan tersebut, menurut kuasa hukumnya dari Johar Fattah & Partners, merupakan pelanggaran terhadap asas-asas keadilan dan pemulihan yang seharusnya ditegakkan dalam proses hukum pidana.

Ketidaktransparan yang Menimbulkan Kecurigaan

Natalria, dalam gugatannya, mengungkapkan bahwa sejak permintaan Restorative Justice disetujui pada Agustus 2024, ia tidak menerima pemberitahuan terkait perkembangan kasus yang sebelumnya rutin ia peroleh melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Baca Juga: Viral! Kecelakaan Beruntun di Tol Cipularang KM 92 Arah Jakarta, Banyak Kendaraan Ringsek Bertumpuk

Pihak Polda Kalimantan Barat pun tidak memberikan akses informasi atas penghentian penyidikan yang dicapai melalui perdamaian dengan pelapor lain, yang jelas bukan korban langsung. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya keberpihakan dalam proses penegakan hukum.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kusnadi Fokussatu

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

OJK Gelar Porseni FKIJK 2025

Jumat, 19 Desember 2025 | 07:41 WIB
X