Menurutnya, penggunaan foto seseorang dalam konten institusional pemerintah, tanpa persetujuan, sama saja dengan pelanggaran terhadap hak dasar warga negara.
“Pasal 65 dan 67 dalam UU Perlindungan Data Pribadi sudah jelas menyebut bahwa penggunaan data pribadi tanpa hak dan tanpa izin adalah tindakan pidana. Apalagi ini dilakukan oleh institusi pemerintah. Negara semestinya jadi pelindung hak-hak sipil, bukan justru pelaku pelanggaran,” tegas Ikhwan.
Dampak dari unggahan tersebut tak berhenti pada ranah reputasi. LBH Muhammadiyah mengungkap bahwa Neni menjadi korban serangan digital yang bertubi-tubi.
Akun TikTok-nya dipenuhi komentar kebencian, akun pribadinya diretas, dan yang paling mengkhawatirkan, ia mengalami doxing atau praktik membocorkan data pribadi ke publik yang bisa berujung pada ancaman keamanan fisik.
“Klien kami kini dalam kondisi tertekan. Dia bukan hanya dikriminalisasi secara simbolik oleh negara, tapi juga dilucuti rasa amannya sebagai warga. Ini preseden buruk, bukan hanya untuk dia, tapi untuk siapa pun yang berani bersuara di ruang publik,” ujar Ikhwan.
LBH Muhammadiyah dalam surat somasinya menyebutkan bahwa peristiwa ini merupakan bentuk perusakan ruang demokrasi. Mereka menyayangkan respons pemerintah yang tidak menjawab kritik dengan argumentasi terbuka, melainkan membalasnya dengan ekspos identitas dan tudingan personal yang menggiring opini publik secara negatif.
“Pemerintah provinsi seperti kehilangan kesabaran menghadapi suara kritis. Padahal kritik itu bagian dari ekosistem demokrasi. Yang menyedihkan, institusi yang seharusnya menjadi wajah komunikasi publik justru menjadi alat pembungkaman,” tutur Ikhwan, menyindir peran Diskominfo Jabar.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengungkapkan bahwa pihaknya memberi kesempatan kepada Diskominfo Jabar untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan menarik semua unggahan yang mencantumkan wajah Neni dari seluruh platform digital resmi.
Jika tidak ada itikad baik dalam waktu lima hari kerja, LBH Muhammadiyah memastikan akan menempuh jalur hukum lebih lanjut.
“Kami akan bawa ini ke ranah pidana maupun perdata. Kami juga mempertimbangkan pelaporan ke Komnas HAM dan Komisi Informasi. Negara tidak boleh dibiarkan bebas memperlakukan warga sipil seperti musuh,” kata Ikhwan dengan nada serius.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Diskominfo Provinsi Jawa Barat belum memberikan klarifikasi resmi. Namun LBH Muhammadiyah berharap Pemprov Jabar tidak menutup diri dan mau menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin.
Menurut mereka, yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik satu pejabat, tetapi prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
“Kalau kritik saja dibalas dengan serangan balik personal, lalu apa bedanya pemerintah dengan penguasa otoriter? Demokrasi tidak butuh buzzer, yang dibutuhkan adalah telinga yang mau mendengar dan tangan yang mau memperbaiki,” pungkas Ikhwan Fahrojih.