nasional

Pasca Putusan MK, Masa Jabatan DPRD Dalam Bayang-Bayang Kekosongan Konstitusional

Sabtu, 28 Juni 2025 | 15:47 WIB
Pakar Praktisi Hukum dan penggiat Demokrasi, Januar Solehuddin, SHI., MH., C. Med

Masa Jabatan DPRD dalam Bayang-Bayang Kekosongan Konstitusional

Menurut Pasal 155 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan anggota DPRD adalah lima tahun dan berakhir ketika anggota yang baru mengucapkan sumpah dan janji. Ini berarti terdapat dua prasyarat kumulatif: (1) habis masa jabatan lima tahun, dan (2) pelantikan anggota baru.

Namun, jika pemilu legislatif daerah dilaksanakan setelah pemilu nasional (2 tahun sampai 2 Tahun 6 bulan), maka potensi kekosongan kekuasaan legislatif di daerah menjadi nyata. Anggota DPRD lama tidak dapat terus menjabat karena masa lima tahunnya telah selesai. Di sisi lain, anggota baru belum dilantik karena pemilu belum digelar. Situasi ini menciptakan celah hukum yang serius, bahkan bisa dikategorikan sebagai kekosongan konstitusional.

DPRD tidak dapat dianggap sebagai lembaga caretaker, karena tidak ada pengaturan hukum positif yang mengatur mekanisme perpanjangan masa jabatan secara otomatis dalam kondisi force majeure atau perubahan sistem.

Baca Juga: Komisi I DPRD Kota Bandung Hadiri Kunjungan Wakil Wali Kota Serang

Risiko Kekacauan Pemerintahan Daerah

Kekosongan kekuasaan legislatif di daerah tidak hanya berdampak secara formal kelembagaan, tetapi juga secara fungsional terhadap jalannya pemerintahan. Sebab DPRD adalah bagian dari sistem pemerintahan daerah yang bersifat satu kesatuan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014. Tanpa DPRD, kepala daerah akan kesulitan:

1. Mengajukan dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
2. Melakukan perubahan peraturan daerah;
3. Memperoleh persetujuan terhadap kebijakan-kebijakan penting tertentu.

Artinya, fungsi check and balance lumpuh, dan pemerintahan daerah terancam stagnasi. Ini tentu bertolak belakang dengan semangat demokrasi yang mengedepankan keterwakilan dan akuntabilitas publik.

Paradoks Demokrasi dalam Sistem Pemilu Terpisah

Pemisahan pemilu nasional dan daerah sejatinya memiliki tujuan mulia: memperkuat kualitas partisipasi politik rakyat, meningkatkan fokus pemilih terhadap isu lokal dan nasional secara terpisah, serta mendorong penyederhanaan teknis pemilu.

Namun, tanpa desain transisi yang memadai, justru akan lahir paradoks demokrasi: partisipasi publik memang ditingkatkan, tetapi efektivitas pemerintahan dikorbankan. Publik memilih dalam sistem demokrasi, tetapi hasil dari pilihan tersebut belum bisa segera dijalankan karena adanya kekosongan hukum.

Jika pemerintah tidak segera menyiapkan aturan turunan atau revisi regulasi, maka kekosongan legislatif bisa menjadi preseden buruk yang melemahkan legitimasi pemerintahan lokal.


Mendesain Masa Transisi: Urgensi Revisi Regulasi

Untuk menghindari krisis kelembagaan di tingkat daerah, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang perlu segera melakukan beberapa langkah konkret:
1. Revisi terhadap UU Pemda dan UU Pemilu, khususnya terkait pengaturan masa jabatan anggota DPRD serta mekanisme transisinya.
2. Menyusun aturan teknis yang memungkinkan perpanjangan masa jabatan DPRD secara terbatas dan konstitusional apabila terjadi penundaan pemilu.
3. Menetapkan timeline pemilu daerah secara tegas dan sinkron dengan jadwal pemerintahan agar tidak terjadi overlapping atau kekosongan.
4. Menciptakan sistem grace period atau masa peralihan yang legal, dengan pengawasan ketat, guna memastikan roda pemerintahan tetap berjalan.

Halaman:

Tags

Terkini

OJK Gelar Porseni FKIJK 2025

Jumat, 19 Desember 2025 | 07:41 WIB