FOKUSSATU.ID - Tahun 2029, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu tingkat daerah (Kota/Kabupaten) tidak bisa lagi serentak.
MK memutuskan pemilu Daerah diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Baca Juga: Terendam Waktu: Matra Pantura EIGER Films Angkat Kisah Pilu Masyarakat Pesisir
Pakar Praktisi Hukum dan penggiat Demokrasi, Januar Solehuddin, SHI., MH., C. Med menilai " Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 menandai babak baru dalam pengaturan sistem pemilu di Indonesia. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa pemilihan umum nasional dan daerah tidak lagi dapat diselenggarakan secara serentak."ungkapnya
Menurutnya, Putusan ini memiliki dampak sistemik terhadap arsitektur demokrasi elektoral nasional, salah satunya menyangkut masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. Kata Januar Solehuddin.
Di tengah euforia perubahan ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana nasib masa jabatan DPRD ketika pemilu daerah diselenggarakan setelah pemilu nasional?
Baca Juga: Pos Indonesia dan BPKH Jalin Kerja Sama, Perkuat Layanan Haji dengan Sistem Logistik Terintegrasi
Apakah akan terjadi kekosongan kekuasaan legislatif di daerah? Dan jika iya, apakah sistem hukum kita sudah siap mengantisipasinya?
Artikel ini mencoba menelaah dampak hukum dan kelembagaan dari Putusan MK tersebut, serta menawarkan gagasan untuk mendesain ulang sistem transisi kekuasaan agar tidak melahirkan paradoks dalam pelaksanaan demokrasi.
Tafsir Baru MK dan Polemik Keserentakan Pemilu
Dalam Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa keserentakan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan konstitusi, khususnya prinsip efektivitas pemerintahan dan representasi rakyat. Argumentasi utama MK berkisar pada beban kerja pemilih dan penyelenggara yang terlalu berat ketika pemilu disatukan dalam satu waktu.
Baca Juga: Komisi III DPRD Soroti Masalah Parkir di Kota Bandung
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, di mana Mahkamah sebelumnya menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan desain keserentakan pemilu dan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang. Pergeseran tafsir ini menunjukkan adanya evolusi dalam penalaran hukum MK, tetapi juga menimbulkan konsekuensi serius terhadap pengaturan teknis dan kelembagaan pemilu, termasuk soal masa jabatan anggota legislatif daerah.