FOKUSSATU.ID - Tokoh Budaya Tatar Sunda Jawa Barat, Irjen Pol (Purn) Dr. Anton Charliyan kritisi pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Dapil Jatim VI ini, meminta Jaksa Agung memecat salah seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), hanya karena Kajati berbicara bahasa Sunda saat rapat dengar pendapat dengan DPR RI.
Oleh karenanya, Abah Haji Anton, panggilan akrab untuk Anton Charliyan mendukung langkah TB Hasanuddin yang menilai pernyataan Arteria Dahlan, berlebihan dan dapat melukai perasaan masyarakat Sunda.
"Sebagai anggota DPR sebaiknya berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Jangan bertingkah arogan, ingat setiap saat rakyat akan mengawasi dan menilai kita," tegasnya Selasa 18 Januari 2022.
Anton Charliyan menjelaskan, bahasa daerah sebagai bahasa induk kadang melekat menjadi karakter seseorang, justru yang sekarang terjadi sangat menyedihkan.
Baca Juga: Tumpas KKB Papua Polri Ganti Nama Operasi
Memang, kebebasan yang diberikan UUD 1945 bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan karena hingga pada batas tertentu pengembangan dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan ketentuan lain.
Namun, saat ini, banyak anak-anak di daerah yang justru tidak bisa bahasa asli daerahnya, tapi lancar berbahasa Indonesia, seperti di wilayah Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang yang notabenenya berkebudayaan Sunda, tapi anak-anaknya hampir 90% tidak bisa berbahasa Sunda.
"Bagi saya sangat menyedihkan dan memprihatinkan, padahal suku Tionghoa di Singkawang yang datang sekitar 400 tahun yang lalu, sebagai suku minoritas di wilayah tersebut, sampai saat ini mereka masih tetap bisa bahasa nenek moyangnya yaitu Bahasa Ke Dan Tio Chu," ujarnya.
Untuk itulah, dalam hal tersebut, warga negara Indonesia, harus belajar kepada mereka, dalam hal memelihara budaya dan bahasa.
"Sementara sebagai mana kita ketahui bahwa bahasa merupakan representatif puncak budaya, ciri khas, identitas suatu Suku Bangsa," katanya.
Baca Juga: Antisipasi Bahaya Omicron Sebanyak 39 Sekolah Ditutup Sementara
"Kira-kira ironis tidak jika anak-anak kita nanti mengaku bersuku Minang tapi tidak bisa bahasa Minang. Mengaku suku Batak tidak bisa bahasa Batak, bahkan yang saat ini terjadi pada anak-anak kita, bahasa asingnya sangat lancar justru bahasa daerahnya nol," ungkapnya.
"Fenomena apa kira-kira jika hal ini terjadi, apakah anak-anak kita bisa dikatakan Nasionalis bila bisa bahasa Indonesia dan Inggris tapi tidak bisa bahasa daerah sebagai bahasa Induk nya, jika hal ini terjadi, justru menurut saya pribadi, kita sudah masuk kepada Darurat Ketahanan Kebudayaan," imbuhnya.