politik

Refleksi Tragedi Kampung Cae sebagai Cermin Ketidakpekaan Sosial

Minggu, 7 September 2025 | 19:52 WIB
Warga Kampung Cae dikejutkan penemuan tiga jenazah, seorang ibu dan dua anaknya, di rumah kontrakan./Jumat (5/9/2025) dini hari/ Ilustrasi/ Foto: Tangkapan Layar.

Sementara itu, Daniel Goleman, melalui konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence), menyatakan bahwa empati adalah kunci dalam kepemimpinan efektif, di mana pemimpin yang rasional harus mampu mengatur emosi diri dan memahami perasaan orang lain untuk menyelesaikan konflik.

Dalam konteks Indonesia, cendekiawan seperti Abd Khalik dalam filsafat komunikasi kontemporer, menyoroti bahwa komunikasi empatik dipengaruhi oleh ilmu sosial dan eksak, di mana rasionalitas membantu mengidentifikasi masalah seperti kemiskinan dan tekanan psikologis, sementara empati mendorong kolaborasi fleksibel.

Baca Juga: Tragedi di Kampung Cae Banjaran: Tiga Jenazah Ditemukan di Rumah Kontrakan

Analisis ini relevan dengan tragedi Kampung Cae, di mana kurangnya empati dari pemimpin dan masyarakat menyebabkan isolasi korban.

Jika rasionalitas diterapkan melalui pengumpulan data masyarakat oleh aparat desa—seperti identifikasi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan—maka program pemberdayaan seperti bantuan dari BAZNAS atau CSR bisa lebih tepat sasaran, menghindari bias terhadap kelompok berkuasa.

Empati budaya, sebagaimana dibahas dalam perspektif filsafiah, mendorong pemahaman perasaan kolektif untuk mencegah tragedi serupa.

Tanpa sinergi antara rasionalitas (seperti verifikasi janji politik) dan komunikasi empatik (seperti mendengar keluhan masyarakat), isu kontemporer seperti erosi nalar publik dan polarisasi afektif akan terus merusak struktur kesadaran kolektif.

Lebih lanjut, komunikasi non-empatik dalam masyarakat kontemporer dapat dilihat sebagai manifestasi dari filosofi "Homo Homini Lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia lain) yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, di mana sifat alami manusia digambarkan sebagai egois, kompetitif, dan tanpa empati, yang mengakibatkan kondisi "perang semua melawan semua" jika tidak ada otoritas yang mengendalikan.

Baca Juga: Bangun Ekosistem Logistik Efisien, Pos Indonesia Dukung Koperasi Desa Merah Putih

Dalam konteks ini, kurangnya empati dalam interaksi sosial—seperti ketidakpedulian terhadap penderitaan "wong cilik" atau rakyat kecil—mencerminkan sikap predatoris di mana individu atau kelompok kuat "memangsa" yang lemah melalui ketidakadilan struktural, seperti pengabaian janji kesejahteraan pasca-pemilu.

Fenomena ini semakin nyata dalam praktik "flexing" atau pamer kekayaan di media sosial oleh para pejabat dan wakil rakyat, yang tidak hanya memperlebar jurang sosial tetapi juga memicu kecemburuan dan ketidakadilan di kalangan masyarakat miskin.

Contohnya, pamer gaya hidup mewah oleh pejabat—seperti tunjangan rumah dinas DPR yang kontroversial—di tengah kemiskinan rakyat, ironis dengan kondisi hidup susah dan memperburuk rasa ketimpangan, sehingga membuat mereka "jadi musuh masyarakat" seperti yang dikritik oleh Jusuf Kalla.

Para pelaku flexing semacam ini benar-benar dipertanyakan kelaikannya untuk mewakili rakyat atau menjadi bagian dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan Pancasila menjunjung tinggi nilai berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial yang empatik terhadap wong cilik.

Fleksing tidak hanya bertentangan dengan etika kepemimpinan yang berpihak pada rakyat, tetapi juga merusak fondasi Pancasila, di mana keadilan sosial seharusnya menjadi prioritas daripada pameran kekayaan yang memprovokasi polarisasi. Dengan demikian, filosofi Hobbes menjadi peringatan bahwa tanpa komunikasi empatik dan rasionalitas, masyarakat akan terjebak dalam siklus egoisme yang merugikan yang lemah.
medium.com

Natijah

Halaman:

Tags

Terkini

DPRD Kota Bandung Dukung Aksi Bela Palestina

Kamis, 14 Agustus 2025 | 10:30 WIB

Edwin Senjaya Gelar Syukuran Hari Jadi BFC ke 22 Tahun

Selasa, 12 Agustus 2025 | 12:03 WIB